Senin, 20 Desember 2010

Analisis Konsep Model Komunikasi Virtual

Era komunikasi global memungkinkan adanya komunikasi dalam berbagai media,salah satunya adalah email,chatting dan web.Ketiga model tersebut memliki kapasitasnya amsing-masing dalam memenuhi kebutuhan seseorang untuk berkomunikasi secara virtual dan jarak jauh tanpa menggunakan sistem konvensional lagi.
Dari ketiga model tersebut pastilah terdapat perbedaan mendasar.Email adalah sebuah program dimana seseorabg dapat mengirim dan menerima pesan sesuai dengan adress server yang dimaksud.Server dan receiver memungkinkan adanya interaksi virtual berupa mail yang isinya berkaitan dengan suatu urusan seperti bisnis,kantor dan lain-lain.Biasanya server dan receiver sudah saling mengenal.Oleh karena itu mereka dapat bertukar surat pribadi melalui email yang tidak sembarangan orang boleh meng akses bahkan hanya orang yang bersangkutan yang boleh mengaksesnya.Dalam email yang menjadi perbedaan adalah adanya mailing list.Dalam email adanya masalah yang sering terjadi adalah masalah spam dan keamanan yang tidak semua pesan dapat terfilter dengan baik.Maksudnya si pengguna tidak dapat mengkontrol datangnya surat masuk yang kemudian bisa saja isinya berupa gangguan dari orang jahil.Inilah kelemahan utamanya,spam memang menjadi masalah besar dalam email.Tetapi adajuga kelenihan dari penggunaan email.Era globalisasi menuntut kita untuk bergerak cepat.Email memungkinkan si pengguna untuk mengirimkan data-data penting yang berhubungan corporate atau bisnis.Hal ini tidak dapat dipungkiri kegunaannya.Email mempermudah untuk mengirimkan informasi secara cepat.
Chatting,adalah suatu media komunikasi yang memungkinkan seseorang bertukar informasi dalam waktu yang bersamaan dengan berbagi orang.Maksudnya server dan receiver dapat ngobrol dengan bebas dalam waktu yang bersamaan.Bedanya dengan email,cahtting memberikan sensasi khusus kepada penikmatnya.Mereka dapat bertukar pikiran dengan orang banyak bukan hanya di satu tempat tapi juga beda benua ataupun negara.Bnetuk komunikasinya bisa person to person atau bisa berkelompok (multiperson).Biasanya mereka membahas tentang hal-hal yang sedang menjadi perhatian seperti musik,fashion dan lain-lain.Mereka bisa jadi mengenal satu sama lain,ataupun bahkan tidak mengenal sebelumnya.Inilah perbedaanya dengan email.Biasanya chatting dapat diakses melalui Yahoo Messanger dengan mengetik ID dan password anda sudah bisa mengaksesnya.Model komunikasi ini adalah synchronous communications (komunikasi sinkronis)
Web,kita sudah sering mendengar nama ini.Web adalah tempat dimana kita dapat memeperoleh informasi tentang apa yang sedang kita cari.Web memungkinkan penggunanya untuk menggali lebuh jauh apa yang sedang dia teliti ataupun kerjakan tanpa harus bersusah payah mencarinya di perpustakaan.Hal ini tentu saja sangat memudahkan.Tetapi perlu diingat bahwa tidak selamanya web menjadi sangat menguntungkan.Permasalahan yang sering terjadi adalah adanya cybercrime atau cyberviolance.Apapun bentuknya,cybercrime tetap menjadi halangan utama adanya web
B.Perbedaan Komunikasi Virtual dengan Komunikasi Klasik.
Komunikasi virtual tidak ubahnya adalah dunia baru seseorang.Dimana mereka dapat mendapatkan teman yang tidak terbatas tempat,waktu,latar belakang dan lain-lain.Komunikasi virtual memang menjadi daya tarik seseorang dalam pemuasan keinginan mengenai suatu hobby ataupun kesenangan seseorang.Misalnya pada Multiply.com,orang dari seluruh penjuru dunia berkumpul,meng upload lagu,photo,blog bahkan video dimana mereka rata-rata punya basic yang sama yaitu pecinta musik-musik jazz atau aliran tertentu.Komunikasi virtual juga adalah komunikasi lintas budaya dimana otomatis mereka akan sedikit banyak akan mngetahui tentang budaya orang didalam komunitasnya.Hal ini tetntu sangat menyenangkan mengingan kita tak perlu untuk terbang ke penjuru dunia untuk mngenal mereka.Tetapi dalam komunitas virtual memiliki kekurangan yaitu tidak validnya data sang pemilik persoanal.Mereka terkadang memalsukan namanya hanya karena takut terjebak dalam masalah singgung menyinggung SARA atau permasalahan yang mungkin muncul dalam komunitas virtual.Inilah yang kemudian menjadi boomerang bagi penikmat komunitas virtual sendiri.Disatu sisi mereka mendapatkan apa yang mereka mau dan inginkan tetapi disisi yang lain mereka tidak tahu harus kemana ketika terjadi cyberviolance karena tidak ada yang bertanggung jawab terhadap komunitas virtual ini.
Perbedaanya dengan komunitas klasik adalah dalam penggunaan komunikasi virtual si pengguna harus mengerti dan bisa mengoperasikan suatu software tertentu sedangkan dalam komunikasi klasik si pengguna tidak perlu mengaplikasikannya.Ini kemudian juga menuntut pengguna komunikasi virtual memiliki intelegensi yang memadai.Dalam hal media penyampaian informasinyapun dalam komunikasi virtual memiliki segala bentuk dari penyampaian dari komunikasi klasik.Bisa berupa video,teks,gambar dan lain-lain.Dalam proses interaksinya komunikasi virtual memungkinkan si pengguna untuk memiliki hubungan lintas budaya dan intelegensi yang berbeda pula yang mana berarti ini memungkinkan sipengguna untuk berkomunikasi dngan berbagai personal.
C.Perbedaan Komunitas Virtual dengan Komunitas Sosial.
Komunitas virtual adalah komunitas yang rata-rata penggunanya memiliki intelegensi yang lebih dibanding komunitas klasik.Krena sipengguna tentu saja harus mengerti konsep-konsep dari media virtual tersebut,seperti misalnya multiply.com,friendster,yahoo messanger,IRC dan lain sebagainya.Sedangkan komunitas klasik tidak perlu memahami suatu program karena media yang mereka gunakan masih berupa konvensional.Komunitas virtual memungkinkan si pengguna untuk bertukar informasi yang sama-sama disukai.Dalam komunitas klasik biasanya jarang terdapat pertukaran info melalui media.Komunitas maya bisa berupa mailing list ,newsgroup,makcomblang,buletin board.Yang terjadi didalam komunitas virtual adalah sebuah mekanisme pembelajaran karena masing-masing anggotanya berkomunikasi mngenai hal-hal tertentu,contoh komunitas virual pecinta musik mereka membicarakan masalah musik terbaru.
Contoh nya saya sendiri memiliki komunitas di multiply.Komunitas lintas benua tetapi tetap orang Indonesia semua.Dari situ saya mendapatkan banyak hal baru.Informasi musik saya bertambah dan wawasan saya semakin terbuak.Dalam komunitas klasik komunikasi hanya dilakukan oleh orang banyak yang terbatas.Terbatas dalam artian lingkup budaya dan backgroundnnya.Tetapi dalam komunitas virtual sangatlah memungkinkan kita menjalin persahabatn melalui dunia maya dalam ruang lingkup yang luas.
D.Perbedaan Interaksi dalam Komunitas Virtual dan Komunitas Sosial klasik.
Model interaksi sosial adalah persuasi, yaitu komunikasi yang terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraanya kepada khlayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Aristoteles adalah filsof Yunani tokoh paling dini mengkaji komunikawsi sehingga ia berjasa dalam merumuskan model komunikasi verbal pertama. Aristoteles mengemukakan 3 unsur dasar komunikasi yaitu pembicara (speaker), pesan (message),dan pendengar.
Sedangkan dalam interksi virtual Meskipun dalam aktivitas dan proses komunikasi bermedia internet adalah pertukaran data melalui komputer namun tetap melibatkan manusia sebagai pemberi konteks atau situasi pada aktivitas dan process komunikasi tersebut, yang meliputi konteks individual, group, organisasi, massa dan sosial.Pada level individual, pengguna menggunakan internet tools untuk mencari dan menerima informasi dan berkomunikasi dengan pengguna lain. Electronic mail adalah fasilitas yang paling banyak digunakan pada level ini.
Komunitas virtual tidak terbatas pada pada orang-orang yang itu-itu saja.Bahkan eorang kakak adik yang berbeda tempat tinggal misalnya,mereka menggunakan sarana virtual untuk mengetahui kabar masing.Dan tentu saja orang tua mereka lebih cepat menerima kabar,karena juga telah tercipta teknologi webcam.Ada juga kelemahan dari komunitas virtual sendiri.Beberapa informasi tentang adanya orang-orang di Jepang yang menutup dirinya dari sosial.Mereka kemudian menciptakan dunia baru mereka sendiri yaitu komunitas dunia maya atau virtual.
Jadi komunikasi virtual alangkah baiknya diikuti oleh pemahaman individu-individunya untuk memiliki filter dalam diri mereka sendiri.

Sabtu, 18 Desember 2010

Komunikasi Antar Budaya dan Keharmonisan Antar Etnis

Banyak orang menganggap bahwa melakukan komunikasi itu mudah, semudah orang bernafas, karena kita terbiasa melakukannya sejak lahir. Namun setelah orang pernah merasakan hambatan atau “kemacetan” ketika melakukan komunikasi, barulah disadari bahwa komunikasi ternyata tidak mudah. Penelitian ini menganalisis masalah komunikasi antar budaya dalam menciptakan hubungan harmonis antar etnis di Kota Medan. Tujuan yang hendak dicapai adalah mendeskripsi pengaruh komunikasi antar budaya dalam menciptakan hubungan harmonis antar etnis di Kota Medan dengan pendekatan Kritik Budaya (Cultural Critics).
Penelitian menggunakan survey yang datanya dikumpulkan dari sampel sebagai contoh dari populasi, untuk menjelaskan hubungan, kontribusi serta pengaruh antara variabel yang satu terhadap variabel yang lain melalui pengujian hipotesis, atau penelitian eksplanatori (explanatory research).
Data diperoleh berdasarkan data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan berbentuk Skala semantic differential, dan data sekunder, yaitu data yang bersumber dari pustaka, rekaman, keterangan lisan dan tertulis dari pakar yang mengetahui tentang masalah yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah seluruh penduduk warga Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Kota yang berusia 35 – 40 tahun. Kriteria penetapan sampel didasarkan pada golongan usia antara umur 35 tahun sampai 40 tahun, dengan pertimbangan sudah berkeluarga dan bekerja, sehingga diasumsikan lebih sering berinteraksi sosial dengan etnis lain. Untuk menghitung besarnya sampel didasarkan pada Rumus Yamane yang mengajukan pilihan ukuran sampel berdasarkan tingkat presisi dan tingkat kepercayaan serta besarnya populasi, sehingga diperoleh sebanyak 389 sampel.
Penelitian ini menemukan, bahwa persepsi stereotip, dari etnis-etnis minoritas (Etnis Cina) cenderung semakin negative terhadap etnis mayoritas. Etnis mayoritas dianggap kurang superior dari minoritas. Etnis yang cenderung memilih komunikan dari kalangan anggota etnisnya menjadi pasangan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial, terdorong oleh besamya harapan dan kepercayaan akan rasa aman terhadap intra etnis daripada etnis lain. Sebaliknya etnis yang memilih komunikan dari etnis lain dalam interaksi sosial adalah karena tidak membedakan kredibilitas etnisnya dengan etnis lain yang dipilihnya.





MASALAH KEHARMONISAN DAN DINAMIKANYA DALAM KONTEKS KERUKUNAN ANTAR-ETNIS DI INDONESIA

Beberapa Pointers
1. Indonesia, dalam satu sisi adalah negara kesatuan yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa, dan tersebar di berbagai daerah dalam kondisi yang berbeda-beda. Berbeda baik dalam hal lingkungan alam, dalam hal kesejahteraan hidup, kesempatan pendidikan, pilihan politik, agama dan interestnya, dsb. Keanekaragaman ini, jika dikelola secara baik, akan menjadikan khazanah ke-Indonesia-an yang luar biasa. Tetapi sebaliknya, jika perbedaan-perbedaan itu, tidak dikelola secara baik, maka perbedaan-perbedaan dimaksud akan menjadi persoalan, yang pada ujungnya akan memunculkan ketidakharmonisan dan konflik. Ketidakharmonisan dan konflik hampir pasti akan memperlemah dan memperlambat kemajuan Indonesia dalam persaingan dengan negara-negara berkembang lainnya. Apalagi dengan negara-negara yang terlebih dahulu sudah maju.
2. Darimana kita menempatkan arena pentingnya ”peranan keharmonisan” dalam kerangka mempersatukan dan memperpadukan kekuatan atau potensi penduduk Indonesia yang memiliki keragaman seperti itu? Pada kesempatan ini saya ingin mengkajinya dari segi sosial budaya. Pengkajian dari sosial budaya ini berarti menempatkan manusia sebagai makhluk beradab dalam konteks kehidupan sosial dan berkebangsaan. Penempatan seperti itu dengan melihat dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasariyah manusia itu sendiri sebagai urusan yang pokok. Pertanyaannya, bagaimana kebutuhan-kebutuhan dasariyah itu dapat terpenuhi secara baik.
3. Untuk dapat hidup secara normal, masyarakat manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan adab. Kebutuhan biologis terkait secara langsung terhadap kelangsungan hidup fisik manusia itu sendiri. Inilah kebutuhan yang paling mendasar. Jika kebutuhan fisikal ini tidak terpenuhi, maka akan memunculkan ketegangan, keresahan dan meresahkan pihak lain. Dalam ungkapan puitisnya, ”kelaparan bagaikan gagak hitam”. Miskin, menganggur, dan segala kesulitan hidup – tidak sepenuhnya kesalahan mereka sendiri, tetapi juga ada kaitannya dengan tanggungjawab negara, pemerintah, dan masyarakat. Jika masyarakat Indonesia banyak berkondisi seperti ini, maka sebetulnya mereka cenderung tidak lagi berpikir tentang apa makna keharmonisan. Bagaimana mereka perlu merasa penting untuk hidup secara harmonis sementara pihak lain saja tidak menempatkan dan memberi peluang mereka untuk dapat hidup harmonis. Kebutuhan sosial berkaitan dengan kebutuhan berkomunikasi, berkumpul, dan menjalankan berbagai aktivitas sosial termasuk berkelompok, berpolitik, dan sebagainya. Jika kebutuhan sosial seperti ini – prosesnya adalah parsial, tertutup, dan dibangun berdasarkan atas perasaan kecurigaaan – maka produk dari proses sosialisasi seperti ini akan memunculkan kecenderungan melihat diri dan orang lain, melihat kelompok diri dan kelompok di luarnya, juga dengan prasangka. Penglihatan seperti ini akan menyuburkan konsep ”in-group” (minna) versus ”out-group” (minhum). Ungkapan ”homo homini lupus” bisa muncul dari sini. Yang sering terdengan dalam seloroh perkelompokan itu ialah ”dia/mereka lawan atau kawan”. Konsep ”lawan” atau ”kawan” bisa ditarik secara melebar ke dalam coraknya yang natural (bawaan seperti warna kulit dsb) maupun cultural (kebudayaan). Dalam konteks inilah masyarakat manusia membutuhkan adab, yakni kebutuhan akan nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan bersama dalam kerangka mencapai keharmonisan hidup. Nilai-nilai seperti keluhuran, kejujuran, dan toleran, dan saling menghormati antar-sesama makhluk, merupakan ciri dari kebutuhan adab itu sendiri.
4. Kebutuhan terciptanya harmoni, terbangun oleh adanya perasaan, harapan, dan idealisasi – dalam konteks sosial untuk bisa bekerja sama. Untuk terciptanya kondisi seperti itu, membutuhkan berbagai persyaratan, baik dari individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Perlakuan adil baik dalam hal akses ekonomi, sosial, politik, dan hukum di antara warga bangsa, merupakan persyaratan yang tidak bisa ditawar. Sayangnya, hukum belum berjalan sebagaimana mestinya, meskipun penegak hukum maupun pihak yang menyalahi hukum sama-sama mengaku orang beragama. Politik masih terlihat sebagai ajang mencapai kekuasaan, belum menjadi sarana atau alat menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang beradab dan berkesejahteraan. Kehidupan sosial masih mudah terlihat di dalam hubungan-hubungan primordial, ekploitatif, dan kurang manusiawi. Oleh karena itu akses-akses untuk mengembangkan diri terutama dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan pengembangan ekonomi, masih jauh dari menggembirakan. Kondisi demikian ini, pada batas-batas tertentu akan mendatangkan kerawanan social
5. Dari kerawanan sosial, akan melahirkan dua efek ganda. Pertama, dalam hubungan horizontal dari warga masyarakat sendiri yang berbeda agama, suku, etnis, akan semakin menunjukkan kesenggangan. Kedua, dalam hubungan vertikal antara warga masyarakat dan pemerintah akan mudah muncul ketegangan dan distrust (keridakpercayaan). Kondisi distrust ini – sudah mulai menggejala akhir-akhir ini, sebagaimana kita amati bersama, yakni ”penyelesaian persoalan antara rakyat – pemerintah” dengan jalan kekerasan.
6. Terjadinya persitegangan horizontal di antara warga bangsa di Indonesia, ternyata bisa dipicu oleh berbagai kepentingan yang tumpang tindih: kompetisi sumber daya alam (ekonomi), sumber daya kekuasaan (politik) dan ideologi keagamaan maupun kebangsaan. Dalam persitegangan seperti itu lantas mereka memanfaatkan perbedaan identitas kesukuan, etnik, maupun keagamaan sebagai – seakan-akan penyebabnya. Inilah yang perlu diwaspadai. Sementara ketegangan vertikal antara penduduk dan negara atau rakyat dengan pemerintah, seringkali tidak mudah diselesaikan kecuali dengan penyelesaian kekerasan seperti demonstrasi secara anarkhis dalam satu segi, dan pemaksaan kehendak dalam segi yang lain. Duduk bersama untuk saling berbagai keresahan sekaligus berbagi bersama untuk saling mencari jalan keluar secara equal dan saling menghormati, masih sebatas wacana belum menjadi budaya.
7. Bagaimana kita membaca dan mencari jalan keluar atas terjadinya gejala-gejala persitegangan yang bisa mengabaikan arti keharmonisan sosial dalam kontek kerukunan antar-etnis di Indonesia?

a. Dilihat dari perspektif Kebutuhan Dasar (Basic Needs), ketegangan bahkan konflik merupakan sebuah fenomena dari fungsi sosial yang bercorak dinamis. Walaupun ada juga konflik yang disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai Konflik yang Realistik. Konflik seperti ini muncul di antaranya disebabkan oleh ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik.

b. Ketegangan yang mengarah kepada situasi konflik tercipta oleh adanya kalkulasi rasional di antara para aktornya sendiri. Fokus dalam perspektif ini adalah aktor yang terlibat dalam konflik sebenarnya mempunyai kalkulasi yang rasional yang terdiri dari pertimbangan dan keputusan, mengatur strategi untuk melakukan konflik dan menghentikannya. Ada ungkapan, ”asu gedhe menang jeguge”.

c. Ketegangan atau konflik etnik dan agama (kalau itu terjadi), setidaknya ada tiga perspektif yang sering dipakai menjelaskannya.

i. Pertama, adalah perspektif primodial. Perspektif ini melihat konflik sebagai suatu yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda. Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan tidak terhindarkan. Kedua, adalah perspektif Instrumentalis. Perspektif ini melihat bahwa etnis dan agama bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana bahasa atau alat untuk mencapai tujuan dalam konflik .

ii. Kedua realitas tersebut digunakan untuk memobilisasi dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi maupun politik. Aktor yang sering melakukan mobilisasi dikenal sebagai “political entrepenur”. Perannya adalah melakukan mobilisasi dan mengambil keuntungan dalam konflik.

iii. Ketiga adalah perspektif konstruktivis. Para penganut perpektif ini memandang etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara sengaja dalam situasi konflik. Konstruksi ini kemudian digunakan sebagai instrumen untuk mengambil keuntungan dalam konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari perspektif primordial dan instrumental. Dalam menganilisi konflik agama dan etnis ini, perspektif instrumental dan konstruktivis ini lebih dominan.
8. Akhirnya, kita menjadi sadar bahwa ketika orang atau suatu kelompok melihat kelompok lain sebagai “lawan” dan oleh karena itu, adalah wajar untuk dimusuhi bahkan dilawan – ternyata adalah hasil konstruksi manusia sendiri. Jika demikian halnya, maka tugas kita adalah “membongkar” konstruksi sosial itu, lalu membangun kembali menjadi bangunan di mana setiap manusia merasa nyaman memasuki bangunan tadi. Untuk itu, kita masih perlu belajar bagaimana menumbuhkan kesanggupan bukan saja untuk melihat dan memperlakukan orang lain sebagai saudara, tetapi juga mendesain bangunan persaudaraan itu sendiri.***

Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik

Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni (1) pencegahan konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik, (2) penyelesaian konflik; bertujuan untuk mengakhiri kekerasan melalui persetujuan perdamaian, (3) pengelolaan konflik; bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif; (4) resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-sebab konflik, dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan, (5) transformasi konflik; yakni mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas, dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif.11
Selain memahami istilah-istilah penyelesaian konflik tersebut, adalah juga penting untuk memahami; (1) tahapan konflik; (2) tahap penyelesaian konflik; dan (3) tiga asumsi penyelesaian konflik.12 Tahapan-tahapan konflik tersebut antara lain potensi oposisi atau keadaan pendorong, kognisi dan personalisasi, penyelesaian-penanganan konflik, perilaku konflik yang jelas, dan hasil. Untuk tahapan penyelesaian konflik adalah pengumpulan data, verifikasi, mendengar kedua belah pihah yang berkonflik, menciptakan kesan pentingnya kerjasama, negosiasi, dan menciptakan kerukunan.13 Sementara itu, asumsi-asumsi dalam penyelesaian konflik adalah (1) Kalah-Kalah; setiap orang yang terlibat dalam konflik akan kehilangan tuntutannya jika konflik terus berlanjut, (2) Kalah–Menang; salah satu pihak pasti ada yang kalah, dan ada yang menang dari penyelesaian konflik yang terjadi. Jika yang kalah tidak bisa menerima sepenuhnya, maka ada indikasi munculnya konflik baru; (3) Menang-Menang: dua pihak yang berkonflik sama-sama menang. Ini bisa terjadi jika dua pihak kehilangan sedikit dari tuntutannya, namun hasil akhir bisa memuaskan keduanya. Istilah ini lebih popular dengan nama win-win solution di mana kedua belah pihak merasa menang dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Selain asumsi-asumsi di atas, juga perlu untuk mengetahui strategi- strategi untuk mengakhiri konflik. Setidaknya ada sepuluh strategi untuk mengakhiri konflik, yakni abandoning atau mening-galkan konflik, avoiding atau menghindari, dominating atau menguasai, obliging atau melayani, getting help atau mencari bantuan, humor atau bersikap humoris dan santai, postponing atau menunda, compromise atau berkompromi, integrating atau mengintegrasikan, problem solving atau bekerjasama menyelesaikan masalah.14
Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik, secara teoretis ada banyak sekali model, namun dalam tulisan ini hanya akan di sajikan beberapa model saja. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal
Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.
Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.15
Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.16
Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya.
Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.17 Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal telah menimbulkan gangguan terhadap ketahanan bangsa dan negara karena cenderung melebar ke aspek-aspek kehidupan nasi-onal yang lain, di antaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa pada sebagian warga Indonesia.
Ciri kemajemukan bangsa dan wilayah negara kita yang berbentuk kepulauan harus diterima sebagai kenyataan objektif yang mengandung potensi konflik. Sumber-sumber konflik dalam suatu negara antara lain konflik separatis, perebutan sumber daya alam, persoalan SARA/etnisitas. kesenjangan ekonomi, kriminalitas, pengangguran, perang saudara, pemberontakan bersenjata, politik, dan sebagainya.
Indonesia juga memiliki potensi konflik lain yang dapat menimbulkan integrasi nasional, yaitu pontensi konflik antarsuku, agama, ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer, lembaga-lembaga pemerintah/negara, Jawa-non Jawa, penguasa-masyarakat, dan lain-lain. Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), konflik-konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat pemerintah, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan sebagainya.
Umumnya konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih rumit, bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit dipecahkan karena sangat emosional. Untuk mengatasi itu semua, tidak ada resep mujarab yang langsung menyembuhkan karena selalu muncul interaksi rumit antarkekuatan berbeda di samping variabel kondisi sosial wilayah tanah air. Pola penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik perlu dicermati dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori-teori konflik universal, tetapi perlu juga menggunakan paradigma nasional atau lokal agar objektivitas tetap berada dalam bingkai kondisi, nilai, dan tatanan kehidupan bangsa kita. Faktor-faktor sebagai pendukung analisis pemecahan konflik tersebut antara lain: aktornya, isu, faktor penyebab, lingkupnya, usaha lain yang pernah ada, jenis konflik, arah/potensi, sifat kekerasan, wilayah, fase dan intensitas, kapasitas dan sumbernya, alatnya, keadaan hubungan yang bertikai, dan sebagainya. Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat.18 Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat. Di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain dalihan natolu (Tapanuli), rumah betang (Kalimantan Tengah), menyama braya (Bali), saling Jot dan saling pelarangan (NTB), siro yo ingsun, ingsun yo siro (Jawa Timur), alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), dan basusun sirih (Melayu/Sumatra). Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada serta berlaku di masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan.
Hal yang sangat tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat. Oleh karena kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.

Rencana program pembangunan: PEMBANGUNAN DALAM BIDANG TRANSPORTASI DARAT DI KOTA KENDARI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahun 1943 sebelum indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut zidosha sokyoku (zs). jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan.
Kemudian setelah kemerdekaan didapatkan oleh indonesia, zs berubah nama menjadi “djawatan pengangkoetan darat” dibawah pengawasan kementerian perhoeboengan ri. yang kemudian pada tahun 1946 berubah nama menjadi “djawatan angkoetan motor repoeblik indonesia” dan sekarang kita kenal dengan damri.
Itu adalah sekilas perjalanan damri, mengingatkan kita tentang sejarah panjang transportasi massal nasional. dimana diharapkan dapat berubah ke arah yang lebih baik sesuai yang dibutuhkan masyarakat, namun sepertinya hal tersebut sulit terwujud saat ini seiring dengan lemahnya komitmen pemerintah untuk mewujudkan angkutan yang manusiawi dan mengikuti dinamika masyarakat yang jumlahnya kian bertambah.
Transportasi darat merupakan moda transportasi yang paling dominan di Indonesia dibandingkan moda tranportasi lainnya seperti transportasi udara dan transportasi laut. Hal ini ditunjukkan dari data OD Nasional 2001 yang menggambarkan bahwa ± 95% perjalanan penumpang dan barang menggunakan moda transportasi darat. Besarnya persentase tersebut merefleksikan tingginya ketergantungan penduduk Indonesia terhadap moda transportasi ini. Oleh sebab itu, perencanaan pengembangan transportasi darat menjadi prioritas utama dalam rangka pembangunan Indonesia secara keseluruhan.
Pengembangan transportasi darat dibutuhkan tidak hanya untuk mengatasi permasalahan transportasi yang terjadi saat ini, tetapi juga untuk menjawab permasalahan transportasi yang diperkirakan muncul di masa yang akan datang.
Di kota kendari, alat transportasi darat yang mendominasi jalan adalah motor. Motor dianggap sebagai alat transportasi yang lebih efisien dari alat transportasi yang lain. Meskipun begitu, sebagian orang tetap menggunakan alat transportasi umum, yaitu mobil angkutan kota.
Seiring berkembangnya zaman yang semakin maju, maka alat transportasipun semakin berkembang dan semakin berkembang pula masalah yang ditimbulkan akibat dari penggunaan kendaraan yang tidak memiliki control pemakaiannya.
Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu adanya pembaruan terhadap alat transportasi darat yang ada di kota kendari. Pembaruan tersebut merujuk pada pembangunan infrastruktur dan perbaikan terhadap kelayakan kendaraan sehingga tidak akan menciptakan hal – hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya macet (traffic jam), kecelakaan lalu lintas maupun penyalahgunaan lahan masyarakat yang dijadikan jalan umum.

B. Masalah
Adapun masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang dan sebab akibat dari masalah transportasi darat, yaitu sebagai berikut:
1. Jalur transportasi kendaraan umum menjadi ajang rebutan bagi para supir, karena berbedanya biaya angkutan umum disetiap jalur. Hal ini mengakibatkan sering terjaddinya pemogokkan dan menyebabkan lambatnya kegiatan yang dilakukan masyarakat umum seperti pergi kekantor, kesekolah ataupun tempat lain.
2. Masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu, jumlah kendaraan dan perbaikan sarana infastruktur jalan raya serta hal lainnya yang dianggap dapat menggangu kelancaran arus transportasi darat.

C. Tujuan
Tujuan utama dalam pembuatan rancangan ini adalajh untuk mengetahui permasalahan transportasi yang ada dikota kendari dan melakukan pembaruan dengan cara memulai pembangunannya kea rah yang lebih baik.
BAB II
RENCANA PROGRAM

Sebelum melakukan pembangunan, mutlak adanya suatu rencana program. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pembangunan yang dilakukan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan adanya rencana program, maka kita bisa memantau dan mengevaluasi hasil kerja. Jika kegiatan pembangunan tersebut dinilai kurang berhasil maka dapat langsung diatasi dengan mempelajari dan menerapkan semua rencana program yang telah disusun.

Rencana program pembangunan transportasi darat meliputi :
A. Objek pembangunan.
Yang menjadi objek pembangunan adalah semua infrastruktur angkutan darat yang berada di wilayah kota kendari.
B. Sasaran pembangunan
1. Meningkatkan kondisi dan kualitas prasarana dan sarana dengan menurunkan tingkat backlog pemeliharaan.
2. Meningkatkan jumlah dan kualitas pelayanan transportasi, terutama keselamatan transportasi nasional;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan transportasi yang berkesinambungan dan ramah lingkungan, serta sesuai dengan standar pelayanan yang dipersyaratkan;
4. Meningkatkan mobilitas dan distribusi nasional dan wilayah;
5. Meningkatkan pemerataan dan keadilan pelayanan transportasi baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat di perkotaan, perdesaan, maupun daerah terpencil dan perbatasan;
6. Meningkatkan akuntabilitas pelayanan transportasi melalui pemantapan sistem transportasi nasional, wilayah dan lokal; dan
7. Khusus untuk daerah yang terkena bencana nasional akan dilakukan program rehabilitasi sarana dan
prasarana transportasi dan pembinaan sumber daya manusia yang terpadu dengan program-program
sektor-sektor lainnya dan rencana pengembangan wilayah.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka kebijakan umum pembangunan transportasi adalah:
1. Menetapkan Kebijakan pembangunan prasarana dan sarana transportasi;
2. Menetapkan Kebijakan untuk meningkatkan keselamatan transportasi nasional secara terpadu;
3. Menetapkan Kebijakan untuk meningkatkan mobilitas dan distribusi nasional;
4. Menetapkan Kebijakan pembangunan transportasi yang berkelanjutan;
5. Menetapkan Kebijakan pembangunan transportasi terpadu yang berbasis pengembangan wilayah;
6. Menetapkan Kebijakan peningkatan data dan informasi serta pengembangan audit prasarana dan sarana transportasi nasional;
7. Menetapkan Kebijakan membangun dan memantapkan terwujudnya sistem transportasi nasional, wilayah dan local secara bertahap dan terpadu;
8. Menetapkan Kebijakan untuk melanjutkan restrukturisasi kelembagaan dan peraturan perundangan transportasi dan peraturan pelaksanaannya;
9. Menetapkan Kebijakan untuk mendorong pengembangan industri jasa transportasi yang bersifat komersial di daerah yang telah berkembang dengan melibatkan peran serta swasta dan masyarakat dan meningkatkan pembinaan pelaku transportasi nasional; dan
10. Menetapkan Kebijakan pemulihan jalur distribusi dan mobilisasi di wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana nasional secara terpadu.

C. Pelaksanaan Program
Sasaran utama dalam rencana program ini adalah tentang kebijakan pembangunan transportasi darat, angkutan jalan. Maka yang harus dilakukan yaitu :
1. Mendorong penggunaan angkutan massal untuk menggantikan kendaraan pribadi di perkotaan sebagai pelaksanaan pembatasan kendaraan pribadi.
• Mengembangkan standar pelayanan angkutan umum massal untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan mampu berkompetisi dengan kendaraan pribadi.
• Mendukung program penggunaan angkutan umum dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan metode-metode road pricing.
• Membina dan mendorong perusahaan angkutan umum yang sehat secara finansial dan mantap secara operasional didukung dengan manajemen yang kuat.
• Menerapkan sistem pemberian ijin kepada calon operator dengan sistem tender untuk menjaring calon operator potensial.
• Memberikan kesempatan yang sama kepada swasta untuk ikut serta dalam persaingan penyediaan layanan transportasi darat.
• Memperjelas bentuk-bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dalam pengembangan angkutan umum.
2. Mendorong penyusunan standar kompetensi untuk SDM transportasi darat (pemangku kebijakan, operator)
• Mendorong dan memfasilitasi pendidikan profesi untuk SDM transportasi darat
• Memberdayakan asosiasi profesi untuk SDM transportasi darat
• Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dalam rangka penyusunan standar kompetensi
3. Mendorong penggunaan teknologi dalam pengembangan transportasi darat di wilayah rawan bencana
• Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi untuk mengantisipasi wilayah rawan bencana
• Melakukan penilaian terhadap berbagai pilihan teknologi
• Melakukan inventarisasi dan promosi teknologi lokal (indigenous technology) yang tepat dengan cara kerjasama dengan pemerintah daerah
• Melakukan kerjasama dengan institusi pendidikan dalam rangka pengembangan teknologi
• Melakukan inovasi teknologi transportasi darat, termasuk bekerja sama dengan institusi penyedia jasa Research and Development;
4. Menyusun perencanaan transportasi darat yang sinergis dengan rencana transportasi nasional sehingga mampu mengatasi permasalahan transportasi darat.
• Melakukan sosialisasi rencana transportasi nasional ke daerah-daerah untuk dapat disesuaikan dengan kebijakan perencanaan transportasi darat di daerah
• Menyusun panduan/pedoman perencanaan transportasi darat sebagai pegangan bagi daerah dalam perencanaan transportasi daerah
• Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya forum kerjasama antar daerah dalam rangka perencanaan transportasi regional.
5. Mendorong dan memfasilitasi perubahan tata niaga transportasi darat menuju sistem tender trayek;
• Melaksanakan proses pengadaan yang adil dan transparan, melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengadaaan barang/jasa (tender trayek);
• Peningkatan kompetensi penyelenggara proses pengadaan;
• Menciptakan perlindungan hak dari pihak-pihak yang melakukan proses transaksi;
• Mendorong kemudahan investasi usaha dan peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengaturan dan pengawasan untuk keseimbangan dari struktur industri dan struktur pasar;
6. Menyusun regulasi yang memberikan kepastian dan ketetapan hukum tata niaga transportasi.
• Bekerjasama dengan institusi pendidikan dalam menyusun kajian penyiapan regulasi tata niaga transportasi.
• Mensosialisasikan regulasi tata niaga transportasi ke seluruh daerah.
BAB III
EVALUASI PROGRAM

Berdasarkan pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya, maka evaluasi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Program ini masih mengalami hambatan dalam hal sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang terbatas.
2. Minimnya anggaran dari pemerintah daerah mengakibatkan lambatnya proses rekonstruksinya.
3. Program ini dinilai sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat, karena masyarakat butuh kenyamanan ketika menggunakan kendaraan transportasi darat.
4. Program ini membutuhkan orang yang berkompeten di bidang rekonstruksi agar hasil yang diharapkan benar – benar sesuai dengan yang diinginkan.



KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat saya ambil dalam penyusunan program ini yaitu pemerintah perlu melakukan inovasi/pembaruan terhadap sistim transportasi di kota kendari agar masyarakat merasa nyaman dan mengurangi resiko kecelakaan maupun kriminalitas yang sering terjadi di kendaraan angkutan darat.

Yang terakhir adalah perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.

TIPS AND TRIK WINDOWS 7

Sudahkah mencoba Windows 7? Kuasai langkah-langkah cepat berkomputer dengan Windows 7, agar kinerja dengan sistem operasi yang masih uji coba itu bisa lebih mantap.
1. Agar Lagu MP3 tetap utuh
Windows 7 memiliki kelemahan di Windows Player 12 karena bug jahat yang dimilikinya. Bug ini otomatis akan menambahkan metadata yang hilang, termasuk album art. Masalahnya hal ini bisa mengakibatkan file tersebut tidak utuh lagi.
Untuk memperbaikinya, install updatenya dari situs Microsoft.
2. Klik Kanan yang Makin Sakti
Klik kanan pada bagian kosong di desktop untuk mengatur resolusi layar, jadi tak perlu melalui display setting dulu.
Klik kanan pada ikon Explore di taskbar, untuk mengakses folder sistem yang umum digunakan seperti Documents, Pictures, dan lainnya dengan lebih cepat.
Sedangkan bila tidak ingin menggunakan Internet Explorer dan ingin memindahkannya dari taksbar, klik kanan saja pada ikon IE, lalu pilih “Unpin this program from the taskbar”, kemudian instal browser lain.
3. Jalan pintas (shortcut) pada keyboard
Alt+P: Untuk menampikan atau menyembunyikan tampilan jendela Explorer
Windows Logo+G: Menampilkan gadget di muka windows-windows lainnya
Windows Logo++ (tombol plus): Zoom in
Windows Logo+- (tombol minus): Zoom out
Windows Logo+Up: Memperbesar ukuran window
Windows Logo+Down: Memperkecil ukuran window
Windows Logo+Left: Bergerak menuju sisi kiri layar
Windows Logo+Right: Bergerak menuju sisi kanan layar
Windows Logo+Home: Meminimize/merestore window lain kecuali yang sedang ditampilkan
4. Mengatur UAC (User Account Control)
Jengkel dengan banyaknya ‘peringatan’ (alert) seperti pada Windows Vista? Aturlah dengan langkah berikut: Start -> Control Panel -> Change User Account Control Settings.
5. Menulis Cakram Digital
Windows 7 akhirnya menyediakan layanan untuk mem-’burn’ file ISO langsung ke bentuk CD atau DVD. Untuk memudahkannya, tinggal double klik pada file tersebut, pilih drive dengan disk kosong lalu klik Burn.
6. Akses video lebih cepat
Klik kanan pada menu Start, lalu menuju Properties -> Start Menu -> Customize, dan set pilihan video pada “Display as a link”. Kini bisa mengakses folder video dengan langkah singkat.
7. Bagi Flickr
Memiliki account di Flickr? Untuk mempercepat membukanya, kunjungilah situs I Started Something, kemudian downloadlah Connector-nya, lalu pilih Open. Dengan ini, “Flickr Search’ akan ditambahkan di folder Searches, pun bisa mencari foto lewat desktop . Gampang kan?

PROGRAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG PARIWISATA DI SULAWESI TENGGARA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangat dipercaya bahwa ada banyak manfaat ekonomi dari pengembangan pariwisata, dan ada juga ketidak-raguan bahwa Indonesia mempunyai potensi tinggi dalam hal sumber daya pariwisata. Setidaknya memiliki ribuan pulau dan jutaan hektar hutan tropis yang sangat tinggi keaneka-ragaman hayatinya sebagai potensi wisata alam daerah tropis. Ratusan kelompok etnis dan budaya mereka juga dapat dianggap sebagai potensi pariwisata yang luar biasa.
Namun, ada beberapa pertanyaan dasar yang tentunya perlu dijawab.
Pertama: “Bagaimana seharusnya sumber daya itu digunakan didasarkan azas berkelanjutan?” Meskipun pertanyaan di atas tampaknya sangat sederhana, jawabannya tidak demikian. Tanpa pengetahuan yang mendalam tentang sumber daya pariwisata, akan sulit untuk menentukan potensi budaya dan sumber daya alam untuk pariwisata, potensi pasar, dan kualitas sumber daya manusia yang diperlukan untuk merencanakan dan untuk menjalankan pembangunan.
Pertanyaan mendasar yang kedua, yang memerlukan beberapa solusi, adalah: “Bagaimana konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan bisa diterapkan ke dalam proses pembangunan lain yang sedang berlangsung”.
Ini bukan tugas yang mudah untuk memperkenalkan konsep lisan sekte baru ke dalam proses pembangunan yang berlangsung, yang meliputi banyak aspek lain. Secara umum, strategi pengenalan akan selalu membutuhkan evaluasi proses pembangunan yang ada.
Ketiga: “Bagaimana mengubah persepsi, sikap dan motivasi stakeholder (pemangku kepentingan) untuk berbuat sesuai dengan arah dan kriteria baru untuk pengembangan pariwisata “. Ini jelas juga memerlukan pengetahuan khusus, tetapi diperlukan untuk mencapai hargapenjualan yang tinggi untuk produk-produk pariwisata.
Persoalan mendasar ini akan menjadi lebih gawat untuk pemerintah daerah mana pun.

Dengan berbagai keterbatasan penting seperti modal dan sumber daya manusia, pemerintah setempat tidak dapat memecahkan berbagai masalah krusial hanya melalui euforia otonomi. Salah satu hambatan penting adalah eksploitasi yang wajar sumber daya alam (termasuk sumber daya pariwisata), yang dipromosikan hanya untuk membiayai pembangunan program jangka pendek. Dengan pikiran pertimbangan ini, maka dianggap perlu untuk melakukan studi perencanaan pariwisata berkelanjutan di Indonesia terutama di tingkat lokal daerah otonom.
Faktor lain yang mudah menjadi kendala utama bagi Indonesia adalah terbatasnya pendanaan. Untuk mengembalikan tujuan pariwisata massal semula, pemerintah perlu bekerja keras untuk mengumpulkan dana dari berbagai tingkatan pengusaha pariwisata yang tengah mencoba bertahan hidup dengan merosotnya jumlah turis di pasca tujuan pariwisata massal mereka. Di sisi lain, pembangunan destinasi yang baru di beberapa daerah juga membutuhkan dana besar untuk mampu memenuhi berbagai persyaratan dan kriteria yang ada seperti untuk melakukan penilaian dampak lingkungan (AMDAL) atau pengolahan air, dll.
Jika semua biaya dihitung dalam investasi, maka harga produk akan cenderung terlalu mahal dan hanya akan terjangkau oleh konsumen eksklusif tertentu. Sementara itu, eksklusifisme, bertentangan dengan kriteria paradigma baru pendekatan pembangunan partisipatif; yang juga menjadi kriteria penting terhadap keberlanjutan.
Hambatan terbatasnya dana sangat krusial di Indonesia. Di satu sisi,
benar-benar berharap untuk memiliki manfaat ekonomi dari pariwisata, di sisi lain, Indonesia pada umumnya harus membiayai berbagai persyaratan dan kriteria keberlanjutan.
Investor internasional adalah salah satu peluang yang diimpikan Indonesia untuk meraihnya. Namun, investasi internasional akan selalu berakhir dengan kehilangan modal (capital-loss) atau pelarian modal (capital-flight), yang merupakan suatu ciri dalam situasi ekonomi dan politik tertentu. Memperhatikan semua rintangan di atas, ada satu pertanyaan untuk dijawab: “Apa yang harus dan bisa dilakukan Indonesia agar mampu membiayai pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk memperoleh manfaat yang optimal”.
Salah satu kemungkinan jawaban untuk pertanyaan itu adalah dengan “mengembangkan perencanaan yang baik melalui pemerintahan yang baik “.

B. Masalah
Permasalahan yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembangunan di bidang pariwisata, khususnya wilayah Sulawesi tenggara adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat yang menjadi pemegang kebudayaan dan pelestari pariwisata tidak mau bekerja sama dengan pemerintah karena dianggap pemerintah telah mengambil keuntungan untuk merekan sendiri sedangkan masyarakat hanya dijadikan sebagai pekerja biasa.
2. Meningkatnya kewaspadaan tentang bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan alam yang terlalu berlebihan menjadikan bidang kepariwisataan kurang diminati oleh para wisatawan local maupun wisatawan mancanegara.

C. Tujuan
Sasaran pemerintah dalam membangun kepariwisataan adalah agar dapat menambah devisa Negara. Devisa Negara yang diperoleh dari wisatawan asing yang berkunjung kedaerah pariwisata, hal itu memungkinkan terjadinya berbagai transaksi penukaran uang asing dengan uang local sehingga uang asing tersebut akan kembali pula kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai asset Negara.

Tujuan lain dari pembangunan pariwisata adalah pelestarian budaya local sehingga budaya local dapat hidup secara turun temurun dan terjaga kelestariannya.







BAB II
PROGRAM PERENCANAAN

A. Objek pembangunan
Yang menjadi objek pembangunan yaitu :
1. Pantai batu gong,
Lokasi : kota kendari, Sulawesi tenggara
Jarak tempuh : 40 km dari pusat kota
2. Pantai harapan
Lokasi : kolaka, kompleks pt. antam pomala`a
Jarak tempuh : sekitar 15 km dari pusat kota

B. Perencanaan pembangunan
Perencanaan pembangunan dua objek wisata tersebut meliputi:
1. Penginapan
2. Rumah makan
3. Instalasi pembangkit listrik dan sarana air bersih
4. Pembangunan sistim telekomunikasi baik itu berupa telepon, telegraf, radio, televise, kantor pos dan warung internet.
5. Pelayanan puskesmas maupun rumah sakit.
6. Pelayanan keamanan, baik itu pos satpam maupun pos polisi
7. Pelayanan wisatawan pusat informasi ataupun pemandu wisata
8. Pom bensin
9. Dan lain – lain.

C. Pelaksanaan perencanaan pembangunan.
1. Pelaksanaan pembangunan penginapan di objek wisata.
Suatu objek wisata mutlak adanya penginapan. Hal ini dimaksudkan agar para wisatawan dapat lebih lama tinggal di objek wisata tersebut. Semakin lama wisatawan menetap maka semakin banyak devisa yang bisa didapatkan.

2. Pengadaan rumah makan
Rumah makan menjadi salah satu factor yang paling penting dalam mendukung keberhasilan kepariwisataan kerana rumah makan menyajikan makanan – makanan yang khas dari daerah lokasi pariwisata tersebut. Dalam hal ini yaitu masyarakat daerah yang tinggal di sekitar objek wisata pantai batu gong dan pantai harapan harus memiliki makanan khas yang dapat menarik perhatian para wisatawan. Contohnya sinonggi.
3. Instalasi pembangkit listrik dan sarana air bersih
Pemasangan instalasi sangat dibutuhkan di tempat wisata dikarenakan dapat menjadi alat penerangan dan sebagai pendukung alat – alat elektronik supaya kenutuhan wisatawan akan daya listrik dapat dipenuhi sebagai tuntutan dari perkembangan teknologi yang semakin canggihh dalam hal komunikasi dan alat – alat komunikasi memerlukan tenaga listik.
Sarana air bersih dibangun untuk menjamin ketersediaan air bersih ( aim minum dan MCK )bagi para turis.
4. Pembangunan sistem komunikasi
Hal ini bertujuan agar para wisatawan dapat menyalurkan informasi kepada kerabatnya atau kepada orang lain. Komunikasi yang sifatnya virtual menggunakan media dunia maya sangat efektif dari pada komunikasi antar persona.
5. Pelayanan puskesmas atau rumah sakit
Puskesmas atau rumah sakit menjadi hal yang mutlak untuk dibangun di lokasi pariwisata. Lokasi pariwisata terkadang dapat menjadi area yang tidak aman bagi para pengunjung kaena factor alam yang tidak bias diprediksi. Bencana alam yang kemungkinan terjadi di daerah pantai biasanya berupa gelombang pasang atau yang lebih parahnya lagi bias saja terjadi tsunami. Jika ketika itu tidak ada sarana rumah sakit, maka para wisatawan akan “terlantar” atau yang lebih buruk lagi dapat menyebabkan kematian. Hal itulah mengapa perlu dibangun rumah sakit di daerah pariwisata.



6. Pelayanan keamanan
Keamanan juga dapat menjadi factor utama untuk menjaga kelestarian pariwisata. Karena kejahatan terjadi bukan karena akan adanya niat, tetapi karena adanya kesempatan. Dalam hal ini menjaga kemungkinan yang bias berdampak negative dia lokasi pariwisata.
7. Pelayanan jasa pemandu wisata.
Dengan adanya pemandu wisata, maka para wisatawan dapat mengetahui secara detail situasi dan kondisi serta apa saja yang ada di lokasi pariwisata.
8. Jasa pom bensin
Hal ini yang menjadi pendukung dalam transportasi ke lokasi pariwisata. Dengan menyediakan jasa tersebut maka para wisatawan tidak akan kuatir tentang transportasi yang digunakannya.



















BAB III
EVALUASI KEGIATAN

Dari perencanaan yang telah disusun dan dilaksanakan, maka evaluasi yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Sarana penginapan harus di lengkapi dengan alat – alat penunjang kenyamanan para wisatawan seperti ruang tunggu, cafeteria dan lin ssebagainya
b. Sarana penginapan juga harus dilengkapi dengan cleaning service supaya para wisatawan tidak merasa terganggu dengan sampah yang ada di penginapan.
c. Sarana penginapan harus memiliki lebih dari satu MCK
d. Pada tempat cafeteria atau rumah makan, harus menyiapkan makanan – makanan yang segar dan sehat.
e. Sarana komunikasi seperti area hotspot, televise dan lainnya harus ditunjang dengan daya listrik yang cukup besar.
f. Satpam, sebagai petugas keamanan lokasi pariwisata harus selalu memantau lokasi pariwisata agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.















KESIMPULAN

Tempat pariwisata memang harus ada di setiap daerah yang bepotensi untuk dijadikan tempat berwisata seperti kota kendari yang memiliki pantai batu gong dan kota kolaka yang mempunyai pantai harapan.

Dengan adanya perencanaan pembangunan di daerah pariwisata, maka pemerintah harus mendukung program tersebut agar pariwisata tersebut akan lebih bagus dan dapat menjadi pendapatan daerah yang juga akan menambah devisa Negara, khususnya kota kendari.

Dengan berbagai keterbatasan penting seperti modal dan sumber daya manusia, pemerintah setempat tidak dapat memecahkan berbagai masalah krusial hanya melalui euforia otonomi. Salah satu hambatan penting adalah eksploitasi yang wajar sumber daya alam (termasuk sumber daya pariwisata), yang dipromosikan hanya untuk membiayai pembangunan program jangka pendek. Dengan pikiran pertimbangan ini, maka dianggap perlu untuk melakukan studi perencanaan pariwisata berkelanjutan di Indonesia terutama di tingkat lokal daerah otonom di Sulawesi tenggara khususnya kota kendari dan kolaka.

Keberhasilan atau kegagalan pengembangan juga akan ditentukan oleh perencanaan yang hati-hati dan tepat yang mengikuti orientasi yang jelas dengan langkah-langkah pembangunan yang terkait.

DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH

LATAR BELAKANG
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“ Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru.






PEMBAHASAN

A. Desentralisasi dan otonomi daerah
Tujuan utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai kecenderongan global dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Kedua dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan semakin kuat.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat .

Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi .




Undang-undang no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi desentralisasi menuryt para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan .

Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia .

Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi .
Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang .

Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan :

1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;

2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;

4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah .

Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004

Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan kekhasan daerah.

Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP.












B. Pentingnya desentralisasi pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak, baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan.
Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan pada perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas out putnya. Namun ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan salah satunya adalah banyak pemegang kebijakan yang pola pikirnya masih sangat procedural sehingga menghambat lahirnya kreatifitas, motivasi, dan upaya-upaya inovasi.
Hadirnya buku yang memaparkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat dari diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah ini, diharapkan mampu membuka wawasan tentang arti pentingnya otonomi di bidang pendidikan, konsep tentang desentralisasi pendidikan, peningkatan kapasitas otonomisasi sekolah, pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS), pemberdayaan komite sekolah, pengelolahan system manajemen pendidikan di sekolah, otonomi perguruan tinggi, dan otonomi pada lembaga pendidikan islam.
Menutut bahasa otonomi adalah pengundangan sendiri. Tetapi secara konseptual, otonomi diartikan sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Menurut undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada pasal 1 ayat 5, dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur serta mengurus sendiri sesuai dengan peraturan perundangan. Dari beberapa konsep di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa campur tangan pihak lain ataupun pemerintah.
Otonomi daerah sebagai desentralisasi pemerintahan yang tujukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bangsa. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang yang semula bersal dari pemerintah pusat menjadi wewenang pemerintah daerah. Kewenangan pengolahan pendidikan berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membantu perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam menghadapi masalah di bidang pendidikan. Desentralisasi adalah sebuah system manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebinekaan, kebijakan desentralisasi pendidikan dan kendali pelaksanaan.

Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan terdapat kendala yang perlu diatasi yaitu masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan antara lain: masalah kurikulum peningkatan relevansi dan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari satu prediksi yang dapat memberi gambaran kepada masyarakat tahun mendatang. masalah sumberdaya ,manusia sumberdaya manusia yanb kurang professional akan menghambat system pendidikan. Masalah dana, sarana dan prasarana anggaran pendidikan yang diakomodasikan APBD sedangkan pada bidang perlengkapan seringkali terjadi perebutan aset antara departemen dan provinsi masalah organisasikelembagaan jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sehingga seperti tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Misalnya perguruan tinggi dengan sekolah menengah.







C. Penerapan mendasar tentang desentralisasi pendidikan
Implementasi otonomi pendidikan disamping memiliki segi positif namun membawa konsekuensi yang besar dalam berbagai hal yaitu dalam bidang pemerintahan, dalam hal operasional dan dalam bidang social dan dalam bidang pembelajaran yang belum bisa berjalan dengan optimal karena masih banyak guru yang apatis dalam menanggapi pembaharuan pendidikan. Dalam hal anggaran pendidikan dan komite sekolah serta dewan pendidikan. Dalam upaya membangun otonomisasi pendidikan secar benar maka dalam bidang pendidikan akan terbentuk pola manajemen , yaitu manajemen berbasis sekolah, perlibatan masyarakat, pemberdayaan sekolah, meniadakan penyeragaman
Manajemen berbasis sekolah Adalah salah satu model manajemen pendidikan berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah kebijakan serta jalannya pendidikan daerah masing-masing.
Konsep manajemen berbasis sekolah:
a. pembuatan keputusan pendidikan yang bersifat kolegal
b. dalam beberapa hal akan menentukan cara pengambilan keputusan yang hirarkis dan berdasarkan posisi
c. prinsip tim digunakan dalam mengelola dan menjalankan kegiatan sekolah
d. perencanaan yang komperhesif merupakan kendaraan untuk memperbaiki program yang berpusat pada sekolah dan untuk menetapkan prioritas. Dan diperlukannya semangat untuk pengambilan keputusan berdasarkan data.

Tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS):
1. meningkatkan mutu pendidikan
2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
3. meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua dan masyarakat
4. meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah
karakteristik MBS: otonomi sekolah, kerjasama, fleksibilitas, dan peningkatan partisipasi. Hubungan antara MBS dan desentralisasi adalah pemberian wewenang kepada sekolah untuk kebebasan menata organisasi sekolah, manajemen, pengelolahan kelas, optimalisasai, kerjasama kepalasekolah, orang tua dan guru, dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovatif kepala sekolah.
Pemberdayaan komite sekolah Adalah sebuah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolahan pendidikan di satuan pendidikan baik pendidikan pra sekolah. Pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Struktur organisasi komite sekolah menurut AD/ART adalah terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan apabila perlu dilengkapi dengan bidang-bidang yang ada.
Otonomi pendidikan dan pengelolahan MBS adalah suatu proses yang merupakan daur atau siklus penyelenggaraan pendidikan dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan pelaksanaan pemantauan dan penilaian tentang usaha sekolah untuk mencapai tujuan Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mempunyai organisasi yang baik, manajemen personal, manajemen kurikulum, manajemen sarana dan prasarana, manajemen kesiswaan dan lain-lain agar tujuan pendidikan dapat tercapai sepenuhnya. Adapun ciri organisasi pendidikan antara lain:
• masukan dasarnya ikut aktif dalam menentukan pencapaian tujan oerganisasi.
• Sebagai organisasi non profit
• Bersifat irevesibel
• Cenderung sukar berubah
• Laba intensif berkembang

Prinsip dasar yang haru dipegang kepala sekolah untuk melakukan manajemen personal adalah:
a. SDM merupakan kompenen yang paling berharga
b. SDM akan berperan dengan optimal jika dikelola dengan baik
c. Kultur dan suasana dalam organisasi sekolah
d. Mengupayakan agar setiap warga sekolah dapat bekerjasama dengan baik
Selain itu pengelolahan kurikulum di sekolah harus melalui beberapa tahap berikut:
a. tahapan perencanaan
b. pengorganisasian dan koordinasi
c. pelaksanaan
d. dan pengendalian
Sedangkan dalam bidang sarana dan prasarana dibedakan menjadi tiga bagian yaitu alat pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran. Manajemennya meliputi: penentuan kebutuhan, proses pengadaan, pemakaian, pencataan, dan pertanggungjawaban dalam bidang menajemen kesiswaan terdapat beberapa prinsip diantaranya :
• siswa diperlakukan sebagai objek
• keadaan dan kondisi siswa sangat beragam
• siswa akan mempunyai motivasi belajar jika ia menyenangi bahan yang diajarkan
• pengembangan potensi siswa



D. Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William dalam Depdiknas (2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli dalam Husen dan Postlethwaite (1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61) dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan privatisasi berbentuk pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sesuai dengan kesiapan daerah yang bersangkutan Huda (1999) mengemukakan model otonomi pendidikan yang dapat diterapkan yaitu 1) site based management, sebagai upaya melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, 2) pengurangan administrasi pusat, dan 3) inovasi kurikulum. Model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan konsekuensi model pertama, yang diikuti dengan peningkatan kewenangan pada masing-masing sekolah. Sedangkan inovasi kurikulum lebih menekankan upaya peningkatan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik, dan didasarkan pada kebutuhan peserta didik dan masyarakat setempat yang bersifat majemuk.
Burhanuddin (2004:13) berpendapat di dalam model site based management para anggota tertentu dapat berkonsentrasi secara konstruktif dalam pengambilan Keputusan penting yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan suatu sekolah. Model site based management bertujuan untuk meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru, orang tua, peserta didik, dan masyarakat dalam pembuatan keputusan.

E. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu 1) dari sentralistik menjadi desentralistik, 2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, 3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, 4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, dan 5) dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun dunia usaha (Jalal, 2001:5).
Sementara itu Depdiknas (2002:10) menyatakan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu 1) dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, 2) dari manajemen tertutup (closed management) ke manajemen terbuka (open management), dan 3) pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orangtua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Berdasarkan kajian tersebut maka dapat diuraikan wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi:
1. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas). Pemerintah daerah sampai sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah, dan masyarakat di daerah. Era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Desentralisasi manajemen pendidikan berdampak Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota yang otonom, dapat membuat kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat. Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat kabupaten/kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
2. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Muhadjir (2003:61) menyatakan kebijakan yang berasal dari atas (top down), di bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy. Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus ditentukan oleh pemerintah daerah, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah.
Era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, dan yayasan penyelenggara pendidikan. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi, dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
3. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik, dan seni kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), dan to be (menjadi) kurang ditekankan. Kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat peserta didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal, 2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal (2001), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi, dan nonlinier (Hent dalam Jalal (2001)). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa lain, dan guru dengan guru lain.
Interelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan pendidik dengan yang dididik, siswa dengan siswa lain, dan pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia (pribadi). Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut serta dalam sistem itu. Pendidikan secara nyata siswa akan berkembang bila terlibat, ikut aktif di dalamnya.
Nonlinier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski telah ditentukan unsur-unsurnya. Guru dapat membantu peserta didik dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas, tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan, dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan intelligence qoutient (IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional qoutient (EQ) secara integral.
Prinsip “proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
4. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana. Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan.
Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai konstituen dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter (Tilaar, 2004).
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat kabupaten/kota dibentuk dewan pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah menjelaskan bahwa pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan.
Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
5. Dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat
Sebelum era otonomi, peran institusi nonsekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan peserta didik kurang beruntung (miskin, berkelainan, dan tinggal di daerah terpencil).
Jalal (2001:72-73) berpendapat dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment), dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy).
6. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat (birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagian sangat ketat dan kaku oleh dinas pendidikan. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah, dalam iklim birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan kekuasaan berlebihan dalam pembinaan kepala sekolah, guru, siswa. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah.
Era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana, dan sarana prasarana untuk sekolah.
7. Dari manajemen tertutup (close management) ke manajemen terbuka (open management)
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak transparan dan tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan. Era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari pembuatan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

it`s me

it`s me

Laman