Sabtu, 18 Desember 2010

DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH

LATAR BELAKANG
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“ Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru.






PEMBAHASAN

A. Desentralisasi dan otonomi daerah
Tujuan utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai kecenderongan global dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Kedua dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan semakin kuat.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat .

Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi .




Undang-undang no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi desentralisasi menuryt para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan .

Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia .

Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi .
Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang .

Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan :

1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;

2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;

4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah .

Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004

Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan kekhasan daerah.

Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP.












B. Pentingnya desentralisasi pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak, baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan.
Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan pada perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas out putnya. Namun ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan salah satunya adalah banyak pemegang kebijakan yang pola pikirnya masih sangat procedural sehingga menghambat lahirnya kreatifitas, motivasi, dan upaya-upaya inovasi.
Hadirnya buku yang memaparkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat dari diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah ini, diharapkan mampu membuka wawasan tentang arti pentingnya otonomi di bidang pendidikan, konsep tentang desentralisasi pendidikan, peningkatan kapasitas otonomisasi sekolah, pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS), pemberdayaan komite sekolah, pengelolahan system manajemen pendidikan di sekolah, otonomi perguruan tinggi, dan otonomi pada lembaga pendidikan islam.
Menutut bahasa otonomi adalah pengundangan sendiri. Tetapi secara konseptual, otonomi diartikan sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Menurut undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada pasal 1 ayat 5, dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur serta mengurus sendiri sesuai dengan peraturan perundangan. Dari beberapa konsep di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa campur tangan pihak lain ataupun pemerintah.
Otonomi daerah sebagai desentralisasi pemerintahan yang tujukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bangsa. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang yang semula bersal dari pemerintah pusat menjadi wewenang pemerintah daerah. Kewenangan pengolahan pendidikan berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membantu perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam menghadapi masalah di bidang pendidikan. Desentralisasi adalah sebuah system manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebinekaan, kebijakan desentralisasi pendidikan dan kendali pelaksanaan.

Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan terdapat kendala yang perlu diatasi yaitu masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan antara lain: masalah kurikulum peningkatan relevansi dan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari satu prediksi yang dapat memberi gambaran kepada masyarakat tahun mendatang. masalah sumberdaya ,manusia sumberdaya manusia yanb kurang professional akan menghambat system pendidikan. Masalah dana, sarana dan prasarana anggaran pendidikan yang diakomodasikan APBD sedangkan pada bidang perlengkapan seringkali terjadi perebutan aset antara departemen dan provinsi masalah organisasikelembagaan jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sehingga seperti tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Misalnya perguruan tinggi dengan sekolah menengah.







C. Penerapan mendasar tentang desentralisasi pendidikan
Implementasi otonomi pendidikan disamping memiliki segi positif namun membawa konsekuensi yang besar dalam berbagai hal yaitu dalam bidang pemerintahan, dalam hal operasional dan dalam bidang social dan dalam bidang pembelajaran yang belum bisa berjalan dengan optimal karena masih banyak guru yang apatis dalam menanggapi pembaharuan pendidikan. Dalam hal anggaran pendidikan dan komite sekolah serta dewan pendidikan. Dalam upaya membangun otonomisasi pendidikan secar benar maka dalam bidang pendidikan akan terbentuk pola manajemen , yaitu manajemen berbasis sekolah, perlibatan masyarakat, pemberdayaan sekolah, meniadakan penyeragaman
Manajemen berbasis sekolah Adalah salah satu model manajemen pendidikan berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah kebijakan serta jalannya pendidikan daerah masing-masing.
Konsep manajemen berbasis sekolah:
a. pembuatan keputusan pendidikan yang bersifat kolegal
b. dalam beberapa hal akan menentukan cara pengambilan keputusan yang hirarkis dan berdasarkan posisi
c. prinsip tim digunakan dalam mengelola dan menjalankan kegiatan sekolah
d. perencanaan yang komperhesif merupakan kendaraan untuk memperbaiki program yang berpusat pada sekolah dan untuk menetapkan prioritas. Dan diperlukannya semangat untuk pengambilan keputusan berdasarkan data.

Tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS):
1. meningkatkan mutu pendidikan
2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
3. meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua dan masyarakat
4. meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah
karakteristik MBS: otonomi sekolah, kerjasama, fleksibilitas, dan peningkatan partisipasi. Hubungan antara MBS dan desentralisasi adalah pemberian wewenang kepada sekolah untuk kebebasan menata organisasi sekolah, manajemen, pengelolahan kelas, optimalisasai, kerjasama kepalasekolah, orang tua dan guru, dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovatif kepala sekolah.
Pemberdayaan komite sekolah Adalah sebuah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolahan pendidikan di satuan pendidikan baik pendidikan pra sekolah. Pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Struktur organisasi komite sekolah menurut AD/ART adalah terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan apabila perlu dilengkapi dengan bidang-bidang yang ada.
Otonomi pendidikan dan pengelolahan MBS adalah suatu proses yang merupakan daur atau siklus penyelenggaraan pendidikan dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan pelaksanaan pemantauan dan penilaian tentang usaha sekolah untuk mencapai tujuan Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mempunyai organisasi yang baik, manajemen personal, manajemen kurikulum, manajemen sarana dan prasarana, manajemen kesiswaan dan lain-lain agar tujuan pendidikan dapat tercapai sepenuhnya. Adapun ciri organisasi pendidikan antara lain:
• masukan dasarnya ikut aktif dalam menentukan pencapaian tujan oerganisasi.
• Sebagai organisasi non profit
• Bersifat irevesibel
• Cenderung sukar berubah
• Laba intensif berkembang

Prinsip dasar yang haru dipegang kepala sekolah untuk melakukan manajemen personal adalah:
a. SDM merupakan kompenen yang paling berharga
b. SDM akan berperan dengan optimal jika dikelola dengan baik
c. Kultur dan suasana dalam organisasi sekolah
d. Mengupayakan agar setiap warga sekolah dapat bekerjasama dengan baik
Selain itu pengelolahan kurikulum di sekolah harus melalui beberapa tahap berikut:
a. tahapan perencanaan
b. pengorganisasian dan koordinasi
c. pelaksanaan
d. dan pengendalian
Sedangkan dalam bidang sarana dan prasarana dibedakan menjadi tiga bagian yaitu alat pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran. Manajemennya meliputi: penentuan kebutuhan, proses pengadaan, pemakaian, pencataan, dan pertanggungjawaban dalam bidang menajemen kesiswaan terdapat beberapa prinsip diantaranya :
• siswa diperlakukan sebagai objek
• keadaan dan kondisi siswa sangat beragam
• siswa akan mempunyai motivasi belajar jika ia menyenangi bahan yang diajarkan
• pengembangan potensi siswa



D. Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William dalam Depdiknas (2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli dalam Husen dan Postlethwaite (1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61) dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan privatisasi berbentuk pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sesuai dengan kesiapan daerah yang bersangkutan Huda (1999) mengemukakan model otonomi pendidikan yang dapat diterapkan yaitu 1) site based management, sebagai upaya melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, 2) pengurangan administrasi pusat, dan 3) inovasi kurikulum. Model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan konsekuensi model pertama, yang diikuti dengan peningkatan kewenangan pada masing-masing sekolah. Sedangkan inovasi kurikulum lebih menekankan upaya peningkatan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik, dan didasarkan pada kebutuhan peserta didik dan masyarakat setempat yang bersifat majemuk.
Burhanuddin (2004:13) berpendapat di dalam model site based management para anggota tertentu dapat berkonsentrasi secara konstruktif dalam pengambilan Keputusan penting yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan suatu sekolah. Model site based management bertujuan untuk meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru, orang tua, peserta didik, dan masyarakat dalam pembuatan keputusan.

E. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu 1) dari sentralistik menjadi desentralistik, 2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, 3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, 4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, dan 5) dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun dunia usaha (Jalal, 2001:5).
Sementara itu Depdiknas (2002:10) menyatakan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu 1) dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, 2) dari manajemen tertutup (closed management) ke manajemen terbuka (open management), dan 3) pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orangtua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Berdasarkan kajian tersebut maka dapat diuraikan wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi:
1. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas). Pemerintah daerah sampai sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah, dan masyarakat di daerah. Era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Desentralisasi manajemen pendidikan berdampak Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota yang otonom, dapat membuat kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat. Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat kabupaten/kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
2. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Muhadjir (2003:61) menyatakan kebijakan yang berasal dari atas (top down), di bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy. Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus ditentukan oleh pemerintah daerah, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah.
Era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, dan yayasan penyelenggara pendidikan. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi, dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
3. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik, dan seni kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), dan to be (menjadi) kurang ditekankan. Kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat peserta didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal, 2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal (2001), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi, dan nonlinier (Hent dalam Jalal (2001)). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa lain, dan guru dengan guru lain.
Interelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan pendidik dengan yang dididik, siswa dengan siswa lain, dan pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia (pribadi). Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut serta dalam sistem itu. Pendidikan secara nyata siswa akan berkembang bila terlibat, ikut aktif di dalamnya.
Nonlinier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski telah ditentukan unsur-unsurnya. Guru dapat membantu peserta didik dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas, tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan, dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan intelligence qoutient (IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional qoutient (EQ) secara integral.
Prinsip “proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
4. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana. Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan.
Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai konstituen dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter (Tilaar, 2004).
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat kabupaten/kota dibentuk dewan pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah menjelaskan bahwa pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan.
Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
5. Dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat
Sebelum era otonomi, peran institusi nonsekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan peserta didik kurang beruntung (miskin, berkelainan, dan tinggal di daerah terpencil).
Jalal (2001:72-73) berpendapat dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment), dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy).
6. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat (birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagian sangat ketat dan kaku oleh dinas pendidikan. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah, dalam iklim birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan kekuasaan berlebihan dalam pembinaan kepala sekolah, guru, siswa. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah.
Era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana, dan sarana prasarana untuk sekolah.
7. Dari manajemen tertutup (close management) ke manajemen terbuka (open management)
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak transparan dan tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan. Era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari pembuatan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

it`s me

it`s me

Laman