Banyak orang menganggap bahwa melakukan komunikasi itu mudah, semudah orang bernafas, karena kita terbiasa melakukannya sejak lahir. Namun setelah orang pernah merasakan hambatan atau “kemacetan” ketika melakukan komunikasi, barulah disadari bahwa komunikasi ternyata tidak mudah. Penelitian ini menganalisis masalah komunikasi antar budaya dalam menciptakan hubungan harmonis antar etnis di Kota Medan. Tujuan yang hendak dicapai adalah mendeskripsi pengaruh komunikasi antar budaya dalam menciptakan hubungan harmonis antar etnis di Kota Medan dengan pendekatan Kritik Budaya (Cultural Critics).
Penelitian menggunakan survey yang datanya dikumpulkan dari sampel sebagai contoh dari populasi, untuk menjelaskan hubungan, kontribusi serta pengaruh antara variabel yang satu terhadap variabel yang lain melalui pengujian hipotesis, atau penelitian eksplanatori (explanatory research).
Data diperoleh berdasarkan data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan berbentuk Skala semantic differential, dan data sekunder, yaitu data yang bersumber dari pustaka, rekaman, keterangan lisan dan tertulis dari pakar yang mengetahui tentang masalah yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah seluruh penduduk warga Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Kota yang berusia 35 – 40 tahun. Kriteria penetapan sampel didasarkan pada golongan usia antara umur 35 tahun sampai 40 tahun, dengan pertimbangan sudah berkeluarga dan bekerja, sehingga diasumsikan lebih sering berinteraksi sosial dengan etnis lain. Untuk menghitung besarnya sampel didasarkan pada Rumus Yamane yang mengajukan pilihan ukuran sampel berdasarkan tingkat presisi dan tingkat kepercayaan serta besarnya populasi, sehingga diperoleh sebanyak 389 sampel.
Penelitian ini menemukan, bahwa persepsi stereotip, dari etnis-etnis minoritas (Etnis Cina) cenderung semakin negative terhadap etnis mayoritas. Etnis mayoritas dianggap kurang superior dari minoritas. Etnis yang cenderung memilih komunikan dari kalangan anggota etnisnya menjadi pasangan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial, terdorong oleh besamya harapan dan kepercayaan akan rasa aman terhadap intra etnis daripada etnis lain. Sebaliknya etnis yang memilih komunikan dari etnis lain dalam interaksi sosial adalah karena tidak membedakan kredibilitas etnisnya dengan etnis lain yang dipilihnya.
MASALAH KEHARMONISAN DAN DINAMIKANYA DALAM KONTEKS KERUKUNAN ANTAR-ETNIS DI INDONESIA
Beberapa Pointers
1. Indonesia, dalam satu sisi adalah negara kesatuan yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa, dan tersebar di berbagai daerah dalam kondisi yang berbeda-beda. Berbeda baik dalam hal lingkungan alam, dalam hal kesejahteraan hidup, kesempatan pendidikan, pilihan politik, agama dan interestnya, dsb. Keanekaragaman ini, jika dikelola secara baik, akan menjadikan khazanah ke-Indonesia-an yang luar biasa. Tetapi sebaliknya, jika perbedaan-perbedaan itu, tidak dikelola secara baik, maka perbedaan-perbedaan dimaksud akan menjadi persoalan, yang pada ujungnya akan memunculkan ketidakharmonisan dan konflik. Ketidakharmonisan dan konflik hampir pasti akan memperlemah dan memperlambat kemajuan Indonesia dalam persaingan dengan negara-negara berkembang lainnya. Apalagi dengan negara-negara yang terlebih dahulu sudah maju.
2. Darimana kita menempatkan arena pentingnya ”peranan keharmonisan” dalam kerangka mempersatukan dan memperpadukan kekuatan atau potensi penduduk Indonesia yang memiliki keragaman seperti itu? Pada kesempatan ini saya ingin mengkajinya dari segi sosial budaya. Pengkajian dari sosial budaya ini berarti menempatkan manusia sebagai makhluk beradab dalam konteks kehidupan sosial dan berkebangsaan. Penempatan seperti itu dengan melihat dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasariyah manusia itu sendiri sebagai urusan yang pokok. Pertanyaannya, bagaimana kebutuhan-kebutuhan dasariyah itu dapat terpenuhi secara baik.
3. Untuk dapat hidup secara normal, masyarakat manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan adab. Kebutuhan biologis terkait secara langsung terhadap kelangsungan hidup fisik manusia itu sendiri. Inilah kebutuhan yang paling mendasar. Jika kebutuhan fisikal ini tidak terpenuhi, maka akan memunculkan ketegangan, keresahan dan meresahkan pihak lain. Dalam ungkapan puitisnya, ”kelaparan bagaikan gagak hitam”. Miskin, menganggur, dan segala kesulitan hidup – tidak sepenuhnya kesalahan mereka sendiri, tetapi juga ada kaitannya dengan tanggungjawab negara, pemerintah, dan masyarakat. Jika masyarakat Indonesia banyak berkondisi seperti ini, maka sebetulnya mereka cenderung tidak lagi berpikir tentang apa makna keharmonisan. Bagaimana mereka perlu merasa penting untuk hidup secara harmonis sementara pihak lain saja tidak menempatkan dan memberi peluang mereka untuk dapat hidup harmonis. Kebutuhan sosial berkaitan dengan kebutuhan berkomunikasi, berkumpul, dan menjalankan berbagai aktivitas sosial termasuk berkelompok, berpolitik, dan sebagainya. Jika kebutuhan sosial seperti ini – prosesnya adalah parsial, tertutup, dan dibangun berdasarkan atas perasaan kecurigaaan – maka produk dari proses sosialisasi seperti ini akan memunculkan kecenderungan melihat diri dan orang lain, melihat kelompok diri dan kelompok di luarnya, juga dengan prasangka. Penglihatan seperti ini akan menyuburkan konsep ”in-group” (minna) versus ”out-group” (minhum). Ungkapan ”homo homini lupus” bisa muncul dari sini. Yang sering terdengan dalam seloroh perkelompokan itu ialah ”dia/mereka lawan atau kawan”. Konsep ”lawan” atau ”kawan” bisa ditarik secara melebar ke dalam coraknya yang natural (bawaan seperti warna kulit dsb) maupun cultural (kebudayaan). Dalam konteks inilah masyarakat manusia membutuhkan adab, yakni kebutuhan akan nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan bersama dalam kerangka mencapai keharmonisan hidup. Nilai-nilai seperti keluhuran, kejujuran, dan toleran, dan saling menghormati antar-sesama makhluk, merupakan ciri dari kebutuhan adab itu sendiri.
4. Kebutuhan terciptanya harmoni, terbangun oleh adanya perasaan, harapan, dan idealisasi – dalam konteks sosial untuk bisa bekerja sama. Untuk terciptanya kondisi seperti itu, membutuhkan berbagai persyaratan, baik dari individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Perlakuan adil baik dalam hal akses ekonomi, sosial, politik, dan hukum di antara warga bangsa, merupakan persyaratan yang tidak bisa ditawar. Sayangnya, hukum belum berjalan sebagaimana mestinya, meskipun penegak hukum maupun pihak yang menyalahi hukum sama-sama mengaku orang beragama. Politik masih terlihat sebagai ajang mencapai kekuasaan, belum menjadi sarana atau alat menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang beradab dan berkesejahteraan. Kehidupan sosial masih mudah terlihat di dalam hubungan-hubungan primordial, ekploitatif, dan kurang manusiawi. Oleh karena itu akses-akses untuk mengembangkan diri terutama dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan pengembangan ekonomi, masih jauh dari menggembirakan. Kondisi demikian ini, pada batas-batas tertentu akan mendatangkan kerawanan social
5. Dari kerawanan sosial, akan melahirkan dua efek ganda. Pertama, dalam hubungan horizontal dari warga masyarakat sendiri yang berbeda agama, suku, etnis, akan semakin menunjukkan kesenggangan. Kedua, dalam hubungan vertikal antara warga masyarakat dan pemerintah akan mudah muncul ketegangan dan distrust (keridakpercayaan). Kondisi distrust ini – sudah mulai menggejala akhir-akhir ini, sebagaimana kita amati bersama, yakni ”penyelesaian persoalan antara rakyat – pemerintah” dengan jalan kekerasan.
6. Terjadinya persitegangan horizontal di antara warga bangsa di Indonesia, ternyata bisa dipicu oleh berbagai kepentingan yang tumpang tindih: kompetisi sumber daya alam (ekonomi), sumber daya kekuasaan (politik) dan ideologi keagamaan maupun kebangsaan. Dalam persitegangan seperti itu lantas mereka memanfaatkan perbedaan identitas kesukuan, etnik, maupun keagamaan sebagai – seakan-akan penyebabnya. Inilah yang perlu diwaspadai. Sementara ketegangan vertikal antara penduduk dan negara atau rakyat dengan pemerintah, seringkali tidak mudah diselesaikan kecuali dengan penyelesaian kekerasan seperti demonstrasi secara anarkhis dalam satu segi, dan pemaksaan kehendak dalam segi yang lain. Duduk bersama untuk saling berbagai keresahan sekaligus berbagi bersama untuk saling mencari jalan keluar secara equal dan saling menghormati, masih sebatas wacana belum menjadi budaya.
7. Bagaimana kita membaca dan mencari jalan keluar atas terjadinya gejala-gejala persitegangan yang bisa mengabaikan arti keharmonisan sosial dalam kontek kerukunan antar-etnis di Indonesia?
a. Dilihat dari perspektif Kebutuhan Dasar (Basic Needs), ketegangan bahkan konflik merupakan sebuah fenomena dari fungsi sosial yang bercorak dinamis. Walaupun ada juga konflik yang disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai Konflik yang Realistik. Konflik seperti ini muncul di antaranya disebabkan oleh ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik.
b. Ketegangan yang mengarah kepada situasi konflik tercipta oleh adanya kalkulasi rasional di antara para aktornya sendiri. Fokus dalam perspektif ini adalah aktor yang terlibat dalam konflik sebenarnya mempunyai kalkulasi yang rasional yang terdiri dari pertimbangan dan keputusan, mengatur strategi untuk melakukan konflik dan menghentikannya. Ada ungkapan, ”asu gedhe menang jeguge”.
c. Ketegangan atau konflik etnik dan agama (kalau itu terjadi), setidaknya ada tiga perspektif yang sering dipakai menjelaskannya.
i. Pertama, adalah perspektif primodial. Perspektif ini melihat konflik sebagai suatu yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda. Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan tidak terhindarkan. Kedua, adalah perspektif Instrumentalis. Perspektif ini melihat bahwa etnis dan agama bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana bahasa atau alat untuk mencapai tujuan dalam konflik .
ii. Kedua realitas tersebut digunakan untuk memobilisasi dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi maupun politik. Aktor yang sering melakukan mobilisasi dikenal sebagai “political entrepenur”. Perannya adalah melakukan mobilisasi dan mengambil keuntungan dalam konflik.
iii. Ketiga adalah perspektif konstruktivis. Para penganut perpektif ini memandang etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara sengaja dalam situasi konflik. Konstruksi ini kemudian digunakan sebagai instrumen untuk mengambil keuntungan dalam konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari perspektif primordial dan instrumental. Dalam menganilisi konflik agama dan etnis ini, perspektif instrumental dan konstruktivis ini lebih dominan.
8. Akhirnya, kita menjadi sadar bahwa ketika orang atau suatu kelompok melihat kelompok lain sebagai “lawan” dan oleh karena itu, adalah wajar untuk dimusuhi bahkan dilawan – ternyata adalah hasil konstruksi manusia sendiri. Jika demikian halnya, maka tugas kita adalah “membongkar” konstruksi sosial itu, lalu membangun kembali menjadi bangunan di mana setiap manusia merasa nyaman memasuki bangunan tadi. Untuk itu, kita masih perlu belajar bagaimana menumbuhkan kesanggupan bukan saja untuk melihat dan memperlakukan orang lain sebagai saudara, tetapi juga mendesain bangunan persaudaraan itu sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar